Rasionalitas Mudik Lebaran

banner 468x60

Opini – Ritual mudik lebaran merupakan salah satu contoh tradisi Bangsa Indonesia yang tak pernah lekang karena waktu. Meski sempat memudar beberapa tahun karena berkecamuknya pandemi Covid-19, tahun ini denyut nadi ritual mudik Lebaran kembali terpompa keras. Survei Kementerian Perhubungan mendapati tren peningkatan pergerakan  masyarakat  selama  Lebaran  2024  secara nasional  mencapai  71,7%  dari jumlah penduduk Indonesia (193,6 juta orang). Terjadi peningkatan yang sangat signifikan dibanding pada masa Lebaran 2023 yakni sebanyak 123,8 juta orang.

Fenomena mudik sangat sulit diterangkan dengan berbagai teori rasionalitas kehidupan. Begitu hebatnya sihir mudik lebaran membuat hidup kaum urban di berbagai kota besar di Indonesia seolah hanya akan bermuara pada hari lebaran. Sihir mudik Lebaran pula yang membuat pemikiran banyak orang tak rasional.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Beberapa tahun lalu sebuah harian nasional pernah memberitakan kejadian menarik. Seorang pemuda asal Surabaya bernama AS (32), telah merantau ke Jakarta selama satu setengah tahun. Ia sering berkirim surat pada keluarga di kampung mengabarkan bahwa Ia bekerja di perusahaan kargo dengan gaji cukup besar.

Padahal sejatinya Ia tidak bekerja, alias menganggur. Saat lebaran tiba, hasrat untuk mudik begitu kuat, maka dikaranglah sebuah skenario untuk menjaga citra hidupnya yang sukses di Jakarta. Dibuatlah surat keterangan dari polisi yang menyatakan bahwa dirinya menjadi korban perampokan sopir taksi dengan total kerugian “perampokan” sebesar Rp 30 juta.

Entah, mungkin karena ia tak mahir mengarang cerita. Singkat cerita, Kepolisian Sektor Metropolitan Pasar Rebo, Jakarta Timur, menemukan berbagai keganjilan dan keterangan yang diberikan. Walhasil, niat untuk mudik lebaran dan pamer keberhasilan di komunitas asalnya tinggal mimpi, bahkan ia harus mendekam sementara di hotel prodeo sebagai ganjaran atas laporan palsu yang dibuatnya.

Spirit Religiusitas

Mudik bukan lagi sekadar fenomena sosiologis biasa. Sangat sulit menjelaskan bagaimana orang mau bepergian dalam kondisi penumpang berbagai moda transportasi berjubel, jauh dari nyaman, serta kenaikan tarif yang mencekik leher. Atau harus menempuh jarak ribuan kilometer dengan mengendarai sepeda motor di tengah terik matahari dan hujan.

Mungkin inilah kenyataan yang disebut Mircea Eliade (1999), sebagai teritori sakral dalam suatu tradisi keagamaan. Orang berkeinginan keras untuk pulang kampung untuk bermaaf-maafan bersama sanak saudara, merasa ada kesalahan satu dengan yang lain meski sudah satu tahun tidak pernah bertemu!

Kenyataan ini pula barangkali yang mengantarkan Jaya Suprana sampai pada sebuah tesis dalam sebuah tulisannya, bahwa saat Lebaran, para pembantu rumah tangga lebih menentukan gaya hidup para majikan mereka ketimbang sebaliknya. Para pembantu rumah tangga tidak bisa dirayu dengan imbalan uang sebesar apa pun untuk tidak mudik. Fenomena ini membuktikan bahwa di antara bumi dan langit tidak semuanya bisa dibeli dengan uang!

Sebagai tradisi generik masyarakat Indonesia, mudik ternyata tak hanya dijalani oleh keluarga muslim. Banyak kita jumpai keluarga non muslim yang saat menjelang lebaran ikut antre tiket kereta api atau tiket pesawat terbang untuk pulang ke kampung halaman, ikut bermaaf-maafan di kampung. Bahkan, ada seorang majikan non muslim menyetir mobil sendiri mengantar asisten rumah tangganya mudik ke kampung halaman dan ikut bermaaf-maafan pula. Ada spirit religiusitas di mana mudik menjadi simbol keagamaan universal, yang ternyata tak dilakukan dan dirasakan kaum muslim semata.

Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak umat nonmuslim yang larut dalam ritual mudik Lebaran, menunjukkan kepada kita bahwa tradisi mudik Lebaran dan acara maaf-maafan sudah merupakan tradisi universal umat beragama di Indonesia. Teori-teori perubahan sosial Peter L. Berger teraktualisasi secara nyata. Teori perubahan sosial memasuki ranah-ranah tradisi keagamaan yang sensitif sekalipun. Pluralisme justru berarti saling menghormati, mengakui, dan menghargai perbedaan agama.

Kegagalan Negeri Agraris

Merayakan kemenangan bukan hanya dalam arti religius, tetapi juga material. Pergerakan ekonomi, meski besarnya tak luar biasa, namun perputarannya sangat signifikan. Uang primer mengalami peningkatan sangat signifikan. Menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri 2024 ini Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang layak edar senilai Rp 260 triliun. Meningkat sangat signifikan dibanding periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp 195 triliun. Menurut prediksi BI, aktivitas ekonomi pada Ramadhan dan Idul Fitri 2024 akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,14 hingga 0,25 percentage point (ppt).

Fenomena seperti ini memiliki nilai positif dan negatif. Nilai positifnya, akan menambah aktifitas ekonomi dalam jangka pendek yang mempunyai kontribusi pada aktifitas ekonomi secara keseluruhan. Namun, kondisi pengeluaran uang yang berlebihan seperti itu bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan pemborosan. Mereka bekerja membanting tulang dan menabung selama berbulan-bulan.

Namun hasil kerja keras tersebut dihambur-hamburkan dalam waktu relatif singkat demi memanjakan pola hidup konsumtif dan hedonis.  Bagi golongan berpendapatan tinggi mungkin porsi yang mereka keluarkan hanya sebagian kecil dari pendapatan mereka.   Tetapi bagi yang hidupnya subsisten, pengeluaran tersebut pasti merupakan bagian yang cukup besar dari pendapatan mereka.

Usai lebaran kaum  urban harus kembali ke tempat mengais rezeki di kota.  Saat itu bekal yang mereka bawa saat mudik telah ludes selama perayaan lebaran. Ceritanya mencapai antiklimaks saat para pemudik harus mencari ongkos untuk pulang lagi ke kota. Tidak sedikit yang terpaksa harus menjual dan menggadaikan barang yang dibelinya sebelum lebaran untuk sekedar ongkos perjalanan pulang ke kota.

Arus balik ke kota pasca lebaran biasanya jumlahnya lebih besar dibanding angka mudik.  Hal ini juga mengindikasikan bahwa ketergantungan desa pada kota tak pernah putus, juga menjadi sinyal kegagalan negeri agraris. Sihir mudik lebaran memang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Memang, hidup tak selamanya dapat dijelaskan dengan kata- kata, dan juga rasionalitas sosial ekonomi.

Catatan: Artikel ini sudah dimuat di Harian Investor Daily, 6 April 2024 oleh penulis yang sama.

Penulis : Toto Subandriyo (Pengamat Sosial Ekonomi Bergiat pada Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L) | Publish : Chairul Falah

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *