Titik Kritis Program MBG

banner 468x60

Opini – Saat kampanye Pilpres 2024, pasangan capres/cawapres Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka menjanjikan program/kegiatan sangat populis yaitu Makan Siang Gratis. Ketika pasangan ini terpilih sebagai presiden/wakil presiden dan program akan dieksekusi, nomenklaturnya berubah menjadi Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), program MBG akan dieksekusi secara nasional mulai 2 Januari 2025. Pada tahap awal akan menyasar sekitar 15-20 juta anak, pada 82 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika diimplementasikan secara penuh program ini akan menjangkau sekitar 82 juta sasaran pada 2029.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Program MBG ini memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, bukan saja dilihat dari sisi anggaran yang jumbo, tetapi juga intensitas kegiatan yang super intensif karena terkait dengan puluhan juta orang yang terlibat dan sifatnya harian. Berdasarkan pengalaman empiris, terdapat beberapa titik kritis yang perlu diwaspadai dalam implementasi. Tulisan ini diharapkan menjadi masukan bagi para penentu kebijakan dan para pelaksana di lapangan.

Setidaknya ada Enam titik kritis. Pertama, penentuan alokasi anggaran. Rezim pemerintah saat ini mewarisi kondisi fiskal yang cekak dari rezim pemerintahan sebelumnya. Berdasar kalkulasi   Indonesia Food Security Review (IFSR), jika MBG diimplementasikan penuh dengan standar biaya  Rp 15.000/porsi, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 450 triliun per tahun. Pada Tahun Anggaran 2025 baru dialokasikan Rp 71 triliun (0,29% dari PDB) dengan indeks harga hanya Rp 10.000/porsi.

Terdapat risiko fiskal yang berpotensi ditanggung di kemudian hari. Melihat kondisi fiskal seperti sekarang ini mungkinkah program ini bisa berlanjut selama 5 tahun? Para pakar merasa khawatir akan terjadi ilusi fiskal (fiscal illusion), sebuah terminologi yang dipopulerkan James McGill Buchanan, peraih Nobel Ekonomi 1986 dari Amerika Serikat. Pengalaman empiris di berbagai negara, saat kampanye pemilu, para kontestan menawarkan program-program yang sangat populis. Tetapi rakyat tidak sadar bahwa untuk merealisasikannya, ada harga yang harus mereka tanggung. Antara lain dalam wujud utang negara yang makin bengkak, kenaikan tarif pajak, serta inflasi.

Banyak Konflik Kepentingan

Kedua, penentuan kelompok penerima manfaat (KPM). Buku II Nota Keuangan APBN Tahun Anggaran 2025 menyebutkan program MBG dirancang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia unggul dan kompetitif. Program ini menyediakan makanan bergizi dan susu gratis di sekolah serta pesantren, bantuan gizi untuk balita, dan dukungan bagi ibu hamil/menyusui yang berisiko memiliki anak tengkes (stunting). Penentuan data KPM merupakan titik kritis yang harus mendapatkan perhatian serius.

Ketiga, penentuan dan penunjukan pelaksana kegiatan di lapangan. Pengalaman empiris dari pelaksanaan kegiatan beranggaran besar sejenis, akan terjadi banyak konflik kepentingan di lapangan. Hal ini sudah terbukti, meski belum resmi dieksekusi namun sudah ada oknum-oknum yang menawarkan kepada masyarakat untuk mengambil peluang jadi pengelola dapur MBG (detikFood, 9 November 2024, 14.00).

Berbagai basis skema juga mencuat di wacana publik. Ada basis dapur umum Kodim, berbasis sekolah, berbasis desa, berbasis kecamatan, berbasis Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), berbasis jasa pengantaran dari sentra dapur, dan lainnya. Oleh karena itu harus segera ditetapkan standard operating procedure (SOP) yang tegas agar potensi gesekan di lapangan akibat banyaknya konflik kepentingan dapat diredam.

Keempat, penentuan menu paket makanan. Pemilihan jenis dan menu paket makanan ini sangat menentukan tercapainya tujuan utama dilaksanakannya program MBG. Banyak masukan dari para ahli gizi dan dokter spesialis gizi klinik dalam memilih paket menu dengan anggaran hanya Rp 10.000/porsi.

Pemerintah harus menegaskan program MBG tidak bertentangan dengan program kesehatan, seperti penurunan penyakit diabetes melitus tipe 2. Kegemaran anak terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi ancaman serius bagi kesehatan anak. Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia, pada 2023 kasus diabetes pada anak mencapai 2 anak per 100.000 anak. Terjadi kenaikan 70 kali lipat dibanding 2010 yang hanya 0.028 anak per 100.000 anak.

Ironis

Kelima, Pengawasan Mutu dan Keamanan Paket Pangan. Awal Oktober 2024 media cetak dan elektronik tanah air ramai memberitakan peristiwa keracunan yang menimpa sejumlah siswa SD di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ironisnya, peristiwa itu terjadi setelah mereka menyantap paket makanan uji coba program MBG.

Makanan/minuman tersusun dari zat organik yang mudah sekali terdekomposisi dan rusak (perishable material). Beberapa makanan, seperti susu, telur, daging, santan, ikan, merupakan bahan makanan yang sangat mudah rusak (highly perishable material). Penanganan keamanan paket pangan di setiap mata rantai: produksi, distribusi, dan konsumsi, menjadi titik paling kritis yang perlu mendapatkan perhatian ekstra.

Keenam, pengawasan pelaksanaan kegiatan. Program MBG berpotensi menjadi ladang korupsi baru. Hal itu disebabkan semua daerah ikut berkontribusi sehingga korupsi berpotensi terdistribusi secara masif. Untuk itu, diperlukan skema pengawasan yang tepat untuk menjalankan program besar ini. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu dilibatkan dalam mitigasi operasional pelaksanaan MBG guna meminimalisir tindakan moral hazard korupsi.***

Opini ini juga telah di muat di Koran Tempo pada Kamis (09/01/2025).

Penulis : Toto Subandriyo (Pegiat Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L) | Publish : Chairul Falah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *