Opini – Beberapa waktu belakangan ini “keramahan” yang dipersembahkan oleh alam kepada kita telah berubah menjadi “kemarahan”. Negeri ini sepertinya tengah panen bencana.
Bencana hidrometeorologis banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah daerah dan nyaris melumpuhkan Jakarta serta jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Keperihan ini masih ditambah lagi dengan erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang banyak menelan korban jiwa. Semuanya terjadi susul menyusul, menambah panjang suasana perkabungan Republik.
Kemarahan alam ini telah mengubur dan menyeret ribuan rumah bersama seluruh harta benda di dalamnya. Puluhan, bahkan ratusan orang tewas karena tak sempat menyelamatkan diri. Puluhan ribu orang lainnya terpaksa mengungsi, bergulat dengan berbagai macam penyakit, serta menatap masa depan yang tidak pasti. Berasal dari kondisi terpuruk seperti inilah roda penggerak kemiskinan biasanya bermula.
Apa yang dapat kita pahami dari semua fenomena ini? Semua itu adalah bahasa alam yang diisyaratkan kepada kita. Selama ini pola hidup kita cenderung serakah dan tamak terhadap alam. Paham antroposentrisme yang menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi, menjadikan manusia berlomba-lomba menaklukkan dan mendominasi alam.
Keserakahan dan ketamakan tersebut membuat daya dukung lingkungan tak mampu lagi menahan berbagai siklus yang bersifat alami sekalipun.
Kecenderungan memberi perhatian yang lebih terhadap pembangunan bersifat materi, telah mengakibatkan tercerabutnya keseimbangan dan daya dukung lingkungan. Atas nama pembangunan ekonomi, atas nama perang terhadap kemiskinan, harmoni dan keselarasan hidup bersama alam diabaikan. Jika berhubungan dengan kesulitan ekonomi, masyarakat kita cenderung permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Amuk ekologis yang merebak di negeri ini sepantasnya menyadarkan kita untuk melakukan pertobatan.
Terjadi Defisit Ekologis
Perilaku dan tindakan manusia yang tidak ramah lingkungan akan mengakibatkan defisit ekologis yang dapat menimbulkan bencana ekologi. Kerusakan alam dan lingkungan berlangsung sangat masif semata-mata untuk memenuhi ambisi dan keserakahan manusia. Lihat saja, dalam situasi negeri sedang “panen bencana” seperti sekarang ini aktivitas illegal logging dan pembakaran hutan masih tetap menjadi menu berita sehari-hari.
Bahkan beberapa tahun lalu organisasi penyelamat lingkungan Greenpeace pernah menobatkan Indonesia sebagai “Penghancur Hutan Tercepat di Dunia” dan memasukkannya dalam Guinness Book of World Record. Hal itu dilakukan setelah Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) merilis data bahwa antara tahun 2000-2005 telah terjadi penghancuran hutan di Indonesia dengan laju deforestasi rata-rata 1,871 juta hektare tiap tahun.
Konversi hutan dan semak belukar menjadi bangunan fisik permukiman, serta sarana infrastruktur fisik lainnya, akan mengakibatkan laju air larian (run off) makin besar. Konversi hutan belukar di daerah Puncak, Jawa Barat, menjadi komplek perumahan padat beton, akan meningkatkan volume air larian dari 5% menjadi 40%. Jika curah hujan 3.000 mm/tahun, kenaikan volume air larian itu mencapai 10.500 m3/ha/tahun yang setara dengan 2.100 truk tangki minyak berkapasitas 5.000 liter (Soemarwoto, 2001: halaman 36-37).
Salah satu penyebab banjir besar yang kini melanda sejumlah daerah sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa, seperti Indramayu, Subang, Pekalongan, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara, penyebabnya adalah defisit ekologis dan rusaknya ekosistem pantai. Hutan mangrove yang berfungsi menahan abrasi mengalami kerusakan parah.
Kerusakan itu mencapai puncak saat booming udang windu pada tahun 1990. Hutan mangrove ditebangi habis untuk tambak udang, kayu bakar, dan arang. Salah satu kawasan pantai paling parah adalah Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Beberapa kampung di kecamatan ini telah berubah menjadi lautan.
Sebuah harian nasional melaporkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia pada 1982 sebesar 5,21 juta hektare. Ketika terjadi booming udang windu, hutan mangrove tersebut gencar ditebangi untuk dijadikan areal pertambakan. Pada 1987 luas hutan mangrove tersebut tinggal 3,24 juta hektare, pada 1993 menyusut lagi menjadi 2,5 juta hektare, dan tahun 2005 lalu tinggal 1,5 juta hektare.
Pembangunan Berkelanjutan Pertobatan ekologis ini harus dilakukan secara nasional dan diikuti oleh seluruh komponen bangsa. Selama pertobatan berlangsung dilakukan pengkajian ulang berbagai peraturan dan kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar perusakan lingkungan seperti deforestasi dan degradasai hutan yang pernah berlangsung masif dan ekstraktif tidak terulang lagi.
Semua agama di dunia mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga harmonisasi hubungan dengan alam dan lingkungan. Kitab suci Alquran telah mengingatkan tentang manusia yang tidak memiliki perilaku etis terhadap lingkungannya. “Telah tampak kerusakan di bumi dan di laut karena tangan-tangan manusia yang akhirnya Allah rasakan kepada mereka ganjaran dari sebahagian yang mereka kerjakan, supaya mereka kembali” (Q.S ar-Rum, 41).
Konsep kosmologi Tri Hita Karana juga mengajarkan pentingnya manusia menjaga hubungan harmonis dengan alam. Pada hakikatnya ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini.
Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijak. Kidder (1995), menawarkan konsep care base thinking yang lebih mengutamakan adanya keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pembangunan untuk kesejahteraan manusia dijalankan secara berkelanjutan tanpa harus merusak alam.
Sejak awal memang kita menyadari bahwa pertobatan ekologis ini bukanlah pekerjaan mudah. Di lapangan upaya ini akan berhadapan dengan berbagai permasalahan akut terkait kebijakan-kebijakan pembangunan, termasuk di dalamnya praktik kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan.
Namun, pada akhirnya negara tetap tidak sepantasnya kalah. Kata kunci dari semua itu adalah upaya penegakan hukum yang tegas bagi semua pelanggar hukum dan ketentuan- ketentuan tanpa pandang bulu. Bagaimanapun kita tidak boleh permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Jika hal itu yang terjadi sama artinya dengan bunuh diri secara ekologis.
Artikel ini pernah dimuat di Harian Investor Daily, 10 Februari 2014.
Penulis : Toto Subandriyo | Publish : Chairul Falah
Alumnus IPB dan Magister Manajemen
Unsoed, bergiat di Lembaga Nalar
Terapan (Lentera)








